Bukit Katarina adalah nama sebuah bukit kecil di kawasan Kelurahan Sei
Renggas, Kec. Kisaran Barat, Kab. Asahan, Sumatera Utara. Lokasi ini
tidak jauh dari RS. Ibu Kartini, dan berada di dalam areal HGU PT.
Bakrie Sumatera Plantations (BSP) di tepi Sungai Silau. Oleh sebab itu,
dibukit ini terdadapat tanaman pohon karet perkebunan milik PT. BSP.
Nama bukit Katarina itu sendiri menurut cerita dari mulut kemulut
diambil dari nama RS. Ibu Kartini yang dulunya sering disebut dengan
nama RS. Katarina. Konon, untuk pertama kalinya dokter di RS itu bernama
Dokter Chatherine yang ditugaskan dari negeri Belanda.
Jika
dilihat sepintas, bukit Katerina merupakan gundukan tanah biasa yang
tingginya mencapai kurang lebih 50 meter. Tempat ini sepertinya tidak
terdapat hal-hal yang aneh atau luar biasa. Bahkan, ketika terjadi gempa
Nias, Sumatera Utara pada malam hari, sekitar pukul 23.00 wib, beberapa
tahun yang lalu, terdengar pula isu tsunami di wilayah Asahan. Tak
ayal, bukit Katerina menjadi tujuan masyarakat Kisaran dan sekitarnya
sebagai tempat mengungsi. Sehingga bukit tersebut penuh sesak dengan
warga masyarakat. Padahal isyu tsunami hanya isapan jempol, yang sengaja
dihembuskan untuk menciptakan suasana keruh dengan maksud agar
masyarakat dilanda kepanikan.
Memang, tidak banyak yang tahu
bahwa ternyata bukit Katerina menyimpan misteri yang hingga saat ini
belum terpecahkan. Bagi seorang yang memiliki kemampuan spiritual
linuwih, atau yang memiliki indera keenam, pasti akan meresakan sesuatu
yang berbeda bila melawati temoat ini.
Menurut kisah yang sudah
ada sejak turun-temurun, pada sekitar abad XVII, bukit Katerina adalah
tempat bertempurnya panglima perang kerajaan Cina dengan Raja Maria Pane
ke-7 dari Buntu Pane Asahan, bernama Datuk Daurung. Kemudian setelah
bertarung adu kesaktian, tidak ada yang kalah dan menang, maka
masing-masing mengeluarkan aji pamungkas, yaitu menjelma menajdi seekor
ular naga dan ikan dundung. Keduanya lalu terjun ke sungai Silau. Mereka
bertempur dengan mengandalkan kesaktian masing-masing. Akan tetapi,
ular naga jelmaan Panglima Perang Cina dapat dipukul jatuh, tertusuk
sanai (patil) dari ikan dundung jelmaan Datuk Daurung. Naga itu
meraung-raung menahan sakit dan menggelepar, yang akhirnya terkulai
hanyut dan terkapar di hilir sungai Silau tidak seberapa jauh dari bukit
itu. Setelah ratusan tahun kemudian, menurut cerita secara turun
temurun dan sudah menjadi semacam legenda di masyarakat, ular naga
jelmaan Panglima Perang Cina siuman dari pingsannya yang cukup lama.
Diiringi hujan lebat, petir sambung menyambung sehingga terjadilah
banjir besar.
Kemudian ular naga tersebut berkisar-kisar
(berenang-renang) dan menghanyutkan diri menelusuri Sungai Silau sampa
sungai Asahan di kota Tanjung Balai). Selanjutnya menuju ke Selat
Malaka.
Perkampungan di kawasan tempat naga berkisar tersebut
akhirnya disebut dengan nama Kampung Kisaran Naga. Sekarang menjadi
Kelurahan Kisaran Naga dan kota yang berada di dekat sungai Silau
disebut dengan nama Kisaran, sebagai ibukota Kabupaten Asahan.
Memang,
hingga saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan
perkampungan itu mulai disebut dengan nama Kisaran Naga, demikian juga
nama Kisaran.
Kembali ke bukit Katerina, Tim Jelajah Misteri
mendapat penjelasan dari Sukino, seorang buruh kebun Tanah Raja yang
pernah menjalani rawat inap selama 14 hari di RS, Ibu Kartini pada tahun
1971.
Sukini berkisah. Saat itu, kebetulan malam Jum’at. Dia
bermimpi didatangi seorang laki-laki gagah perkasa berpakaian seragam
kebesaran Cina. Kemudian diajak masuk ke istana di bawah bukit Katerina.
Bibir
Sukino berdecak kagum karena istana tersebut sangat indah, diterangi
lampu-lampu gemerlapan, dengan hiasan istana bertatahkan ratna mutu
manikam.
Kepada Misteri, Sukino menceritakan. Dirinya disambut
cukup hormat oleh punggawa dan dayang-dayang istana. Kemudian
dipersilahkan duduk di atas permadani lembut. Distu talah tersedia pula
bermacam ragam makanan yang tampaknya cukup lezat dan mengundang selera
makan.
“Selama berada di istana gaib di bawah Bukit Katerina,
rasanya saya tidak ingin pulang karena suasana di ruangan itu sangat
indah dan nyaman. Apalagi didampingi wanita-wanita muda belia yang
cantik rupawan,” cerita Sukirno.
Namun, ketika akan mengambil
makanan yang terhidang, tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang menarik
tubuhnya ke luar dari istana. Di saat itulah, dia terbangun dan yang
ada hanya ruangan rumah sakit yang sepi. Hanya ditemani beberapa orang
pasien lain yang tertidur pulas.
Jam dinding menunjukkan 03.15 wib.
Sukirno merasa bersyukur tidak sempat menyantap makanan di istana itu.
“Jika tidak, mungkin saya akan terus berada di bawah bukit Katerina
menjadi budak dedemit yang tidak lain adalah makhluk halus penjaga Gua
Bukit itu,” tambahnya mengenang mimpi 36 tahun silam itu.
April
lalu, Misteri bersama Adi Sunarto coba menelusuri lebih jauh
kemisteriusan gua di bukit Katerina itu, dengan maksud untuk mengetahui
sejauh mana keangkerannya. Di perapatan Simpang Kartini, persisnya
persimpangan jalan Lintas Sumatera menuju kota Pematang Siantar, kami
berhenti makan di sebuah warung kecil. Tak lama kemudian, datang seorang
lelaki tua yang kami taksir berusia hampir 80-an, singgah di warung
yang sama. Bahkan kami diajak mampir ke rumahnya.
Tawaran kakek Samudi, demikian kami memanggilnya, untuk mampir, tentu tidak kami sia-siakan.
“Mungkin dari kakek tua itu kita mendapat informasi tentang misteri Bukit Katerina,” ujar Adi Sunarto.
Kakek Samudi mengendarai sepeda bututnya, sementara kami mengendarai sepeda motor menuju rumahnya.
“Bila
sudah lihat rumah kecil berdinding papan, atap nipah dan di depannya
ada pohon bunga kenanga, di sebelah kiri jalan, itulah rumah saya,” kata
kakek Samudi sambil mengayuh sepedanya.
Sudah tentu kami melaju
lebih dahulu meninggalkan kakek tua itu. Akan tetapi, kami tak habis
pikir, setelah kami melihat sebuah rumah tua dan sederhana seperti
dijelaskan kakek Samudi, ternyata orang tua itu sudah menunggu di depan
pintu. Sepeda bututnya disandarkan di sebuah tunggul pohon kelapa di
samping rumahnya.
Misteri dan Adi Sunarto hampir tidak percaya
apakah yang ada di depan pintu adalah benar kakek tua itu adanya. Adi
Sunarto membelokkan motornya ke rumah tua itu. Dan benar, yang sudah
menanti kedatangan kami di depan pintu adalah kakek Samudi.
Misteri
bertanya dalam hati, ilmu apa yang digunakan kakek tua itu hingga dapat
mendahului kendaraan yang kami naiki? Sementara kami sendiri tidak
melihat kapan dia mendahului kami.
“Silahkan masuk ke gubuk saya!” Ajak kakek Samudi mempersilakan.
Masih
dengan rasa heran bercampur takjub, kami masuk ke rumah sangat
sederhana berukuran 5x7 meter, dinding papan yang sudah lapuk, lantai
tanah dan atap nipah itu
Di ruang tamu yang kecil dan sempit, ada
sepasang kursi rotan yang reot, di depannya terdapat sebuah meja terbuat
dari papan yang sudah mulai dimakan rayap. Kami memandangi beberap foto
kusam terpajang di dinding.
Ketika kami tengah asyik melihat
foto sepasang pengantin sedang duduk di pelaminan, kakek Samudi
tiba-tiba berujar, “Itu gambar kami sewaktu jadi pengantin.”
Tanpa
peduli pada keterkejutan kami, dia lalu duduk sambil meletakkan tiga
gelas air putih. Untuk menutupi keterkejutan kami, Adi Sunarto memuji
foto kakek Samudi sewaktu masih muda. “Dulu waktu mudanya, kakek ganteng
juga ya?” Kata sahabat Misteri itu.
Orang tua yang disebut dengan nama Samudi hanya tersenyum sambil mempersilahkan kami minum.
Hampir
satu jam kami berbincang-bincang dengan kakek Samudi sekitar cerita
Bukit Katerina. Dari kakek itu, kami mendapat keterangan bahwa bukit itu
pernah dijadikan tempat pemujaan orang-orang Cina dengan membangun
tapekong dipuncaknya, karena memang dianggap keramat dan memiliki daya
magis cukup kuat.
Menurut kakek Samudi, di bawah bukit itu
terdapat gua di dalam air berbentuk bangunan kuno. Tapi kakek tua ini
tidak dapat menjelaskan tahun berapa gua itu mulai ada.
“Yang pasti goa itu sudah lama ada di sana!” Katanya.
“Apa kakek sudah pernah masuk ke gua itu?” Tanya Misteri.
Kakek
Samudi mengerutkan keningnya yang keriput, lalu menjawab; “Saya pernah
melakukan tapa brata di dalam gua itu, Nak, selama 40 hari,” ujarnya.
Kakek tua yang mengaku datang dari Jawa Timur ke Sumatera Utara sebagai
kuli kontrak itu, juga menceritakan bahwa pernah terjadi seorang
laki-laki mati terbunuh di bukit itu. Tapi tidak diketahui siapa
pembunuhnya. Laki-laki yang terbunuh dengan sangat mengenaskan. Kepalaya
dipenggal hingga terpisah dari badannya.
Mendengar cerita kakek
Samudi tentang orangmati terbunuh itu, Misteri teringat ketika suatu
malam dibulan Suro tahun 2005, seorang penjual bandrek jatuh pingsan di
samping gerobak jualannya.
Setelah sadar, dia menceritakan bahwa
dia telah didatangi oleh orang yang ingin membeli bandreknya, akan
tetapi alangkah terkejutnya karena di keremangan malam itu, dia hanya
melihat orang itu hanya kepalanya saja tanpa badan.
Menjelang
maghrib, kami baru keluar dari rumah gubuk kakek Samudi. Sebelum kami
pamit, kakek tua itu berkata, “Kalau kalian mau menengok gua tadi, besok
kalian bisa datang lagi supaya dapat melihat dari dekat. Tapi kalian
tidak bisa masuk ke dalam gua itu tanpa saya. Karena gua itu cukup
angker,” ujarnya.
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan kakek
Samudi, kami kembali berangkat ke rumah si kakek tua. Jujur saja, kami
sangat tertantang dengan pengakuannya yang katanya sanggup menunjukkan
gua di bawah bukit Katerina itu.
Akan tetapi, keanehan menimpa
kami. Ketika tiba di kelurahan Sei Renggas, kami seperti orang
kebingungan. Bagaimana tidak? Rumah kakek Samudi yang kemarin kami
kunjungi tidak ada lagi di pertapakannya.
“Mungkin kita tersesat!” Kata Adi.
“Tak mungkin! Karena jelas sekali ini rumahnya, ditandai ada tunggul pohon kelapa di depan rumahnya,” jawab Misteri.
Akhirnya
kami memutuskan untuk menanyakan kepada penduduk yang tinggal tidak
jauh dari tempat kami mampir kemarin. Kami semakin bingung, karena
menurut penjelasan salah seorang penduduk, selama ini tidak ada rumah di
kawasan itu dan tak ada seorang kakek bernama Samudi. Jadi, siapa
sebenarnya kakek itu? Sungguh mengherankan!
Dengan perasan kecewa
bercampur heran, kami kembali dan memutuskan untuk mencari tahu tentang
keberadaan Bukit Katerina yang masih mengandung misteri. Menjelang
Dzuhur, kami sudah berada di bukit itu. Biarlah tak dapat masuk ke gua
kaerna kakek Samudi tidak ada, asalkan bisa mengambil gambar mulut gua
itu.
Adi Sunarto sudah standby denga kameranya menjepret Bukit
Katerina dari jalan Lintas Kisaran-Pematang Siantar. Lalu kami turun
sedikit melihat bibir sungai Silau untuk melihat gua di bawah bukit itu.
Akan
tetapi, mulut gua itu tidak dapat kami lihat dengan jelas, karena bibir
gua dari seberang sungai (dari Desa Tanjung Alam). Perjalanan dari
Bukit Katerina ke Desa Tanjung Alam memakan waktu sekitar 20 menit.
Di
Dusun II Desa Tanjung Alam, kami bertemu dengan Hartono yang dapat
menunjukkan tempat yang strategis untuk dapat mengambil foto mulut gua
dibawa bukit Katerina itu, karena lebar sungai hanya sekitar 30 meter
saja.
Selain mengambil foto, terjadi peristiwa yang cukup aneh.
Dalam keadaan antara sadar dengan tidak, kawasan di sekeliling tempat
kami berdiri seketika berubah menjadi gelap. Kemudian perasaan kami
digandeng oleh seorang laki-laki misterius berjalan di atas air sungai
dan dalam tempo cukup singkat, kami telah sampai di mulut gua di bawah
Bukit Katerina.
Misteri dan teman tak habis pikir, mengapa kami bisa
berjalan di atas air seperti layaknya berjalan di atas tanah? Setibanya
di pintu gua, orang tua misterius itu membawa kami masuk ke dalam gua
yang gelap dan dingin.
Lelaki tua itu segera menyalakan obor yang
diambil dari dinding gua. Cahayanya menyinari ruang di dalam gua itu.
Kami sangat terperanjat, ketika dari sinar obor itu kami lihat wajah
lelaki tua misterius itu ternyata adalah kakek Samudi.
Tanpa
berkata-kata sedikitpun, kakek Samudi membawa kami mengelilingi gua yang
dingin itu. Di sudut gua, kami melihat ada dua sinar bulat berwarna
kuning keemasan. Bau harum menusuk hidung. Kakek Samudi yang berjalan di
depan segera duduk bersila di hadapan sinar tersebut dan tanpa
diperintah, kami mengikuti gerakan kakek tua misterius itu.
Ternyata
sinar tersebut adalah sepasang mata dari sosok makhluk bermahkota yang
duduk di atas altar batu. Tampaknya seperti kepala seekor ular besar.
Rasa takut mulai timbul menyusul bulu roma kami yang berdiri tegak.
Kakek
Samudi mulai buka bicara, “Ampun Paduka, dua orang ini adalah cucu
hamba yang ingin mengetahui keberadaan gua ini. Mohonlah Paduka dapat
memaafkan kelancangan mereka.” Entah mengapa, kakek Samdi menyabut
makhluk itu dengan panggilan paduka.
“Ya, aku tahu sejak kemarin ada
orang ingin tahu tentang gua ini. Tapi maksudnya baik,” jawab makhluk
itu dengan suara berat menggetarkan ruangan gua. Bahkan, kelelawar hitam
yang bergelantungan didinging gua berhamburan keluar, sambil bersuara
gemuruh memekakkan telinga.
“Apa yang kalian cari?” Makhluk aneh itu bertanya kepada kami.
Adi
Sunarto memandangi Misteri sejenak, kemudian memandangi wajah kakek
Samudi. “Ampun, Paduka! Mereka berdua tidak mencari atau menginginkan
sesuatu. Cucu hamba ini hanya ingin memastikan bahwa di bawah bukit ini
memang benar ada sebuah gua, jadi mereka meminta hamba untuk membawa
mereka kemari,” jawab kakek Samudi.
Gua di dalam air, di bawah bukit itu terasa semakin mencekam. Udara semakin dingin menusuk sumsum.
Makhluk
aneh itu kembali bersuara. “Baiklah, akan tetapi jika ingin datang
lagi, kalian harus membawa sesaji satu ekor ayam jantan berbulu wulung
(hitam mulus), ari-ari dari bayi laki-laki yang lahir hari Jum’at Kliwon
dan bunga macan kerah.
Ayam dan ari-ari, kalian cemplungkan ke
air sungai Silau dan ketika itu kalian akan sampai ke mulut gua ini.
Kemudian taburkan bunga macan kerah ke pintu gua dan dayang-dayangku
akan mempersilhakan kalian masuk.” Ujarnya panjang lebar.
Tak
lama kemudian, sinar mata makhluk itu meredup dan padam. Gua kembali
menjadi gelap. Kakek Samudi memberi hormat, lalu berdiri dan berjalan
menuju mulut goa. Kami mengikutinya dari belakang.
Anehnya, kami tidak sadar kapan kakek Samudi membawa kami keluar gua dan menyeberangi sungai seperti tadi, saat kami pergi.
Yang
pasti, tiba-tiba saja kami sudah berada di seberang sungai, tempat kami
tadi mengambil foto mulut gua itu. Bahkan yang tak kalah aneh, kakek
Samudi pun tak ada bersama kami lagi.
Dalam kebingungan, kami
mengingat-ingat pesan makhluk aneh tadi. Kalau ayam jago wulung dan
kembang macan kerah amat mudah kami peroleh. Akan tetap tentang ari-ari
jabang bayi laki-laki yang lahir pada hari Jum’at Kliwon, disamping
sangat sulit juga tidak mungkin kami bisa mencarinya.
Matahari
telah condong ke barat, sebab tanda hari sudah sore. Kami pun bergegas
pulang dengan membawa pengalaman spiritual yang tak mungkin bisa kami
peroleh lagi di tempat lainnya. Namun, ada sedikit penyesalan, mengapa
kami tidak menanyakan kepada kakek Samudi siapa atau makhluk apa yang
bersemayam di dalam gua di bawah bukit itu?
Misteri juga terlupa tidak menanyakan siapa sebenarnya kakek tua misterius yang mengaku bernama Samudi itu?
Hingga kini, gua di Bukit Katerina dan kakek Samudi tetap menjadi misteri yang entah kapan dapat terungkap.
Saturday 6 April 2013
Misteri Dibukit Katerina Kisaran Asahan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment